POLRI DARI JAMAN KE JAMAN


Sejarah Polri yang di dalamnya termasuk kedudukan dan peranannya, dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :

a. Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.

Secara administratif dalam arti sempit (termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi ), Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada di bawah Procureur Generaal, tetapi operasional sepenuhnya berada di tangan Residen. Pada jaman itu, peran Polri semata–mata adalah alat kolonial.

b. Kepolisian pada jaman Jepang.

Kedudukan Kepolisian mengikuti sistem pemerintahan Jepang yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua lingkungan kekuasaan, yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Madura dikuasai Angkatan Darat (Gunseikan) dan Indonesia Timur serta Kalimantan dikuasai Angkatan Laut, (Minseifu – Tyokan) masing – masing lingkungan kekuasaan dibagi dalam syu (sama dengan Karesidenan) tiap–tiap syu dikepalai oleh Syutyukan, yang sekaligus menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan. Pimpinan kepolisian sehari–hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Bagian Kepolisian (Keisatsu – Butyo) atau Chiang – Butyo (Kepala Bagian Keamanan). Pada masa itu kepolisian juga merupakan alat kekuasaan/pemerintahan tentara Jepang.

c. Kepolisian pada jaman Revolusi Fisik.

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia merdeka, Kepolisian Negara Republik Indonesia segera dibentuk dan diberlakukan Perundang–undangan Hindia Belanda. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 11/SD/1946, pada tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara R.I. dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Inilah saat lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah R.I. dan seluruh tugas Kepolisian termasuk ikut bertempur dan menyatakan diri sebagai ‘combattan’. Melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 Pebruari 1948, kedudukan Polri menjadi di bawah Presiden / Wakil Presiden.

d. Kepolisian pada jaman Demokrasi Parlementer.

Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat serta ikut aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi–operasi militer.

e. Kepolisian pada jaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan jaman Orde Baru.

Berdasarkan Keppres Nomor 153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui TAP MPR Nomor II tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 tahun 1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 tahun 1961, kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 tahun 1982 dan UU Nomor 28 tahun 1997. Di dalam UU tersebut, fungsi kepolisian digabungkan dengan fungsi pertahanan keamanan negara sehingga menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara fungsi penegakan hukum dan pemelihara ketertiban masyarakat dengan fungsi pertahanan keamanan negara.
Brigjen Pol. Drs. R.Abdussalam SH. MH. dalam artikelnya yang berjudul "Hormatilah Kompetensi Polri", dimuat di Jurnal Police Watch 1, menyatakan bahwa selama pemerintahan Orde Baru, Polri tak dapat dilepaskan dari TNI dengan Dwi Fungsinya sebagai pemegang kekuasaan. Kompetensi Polri pun tidak dapat dilepaskan/dipisahkan baik dari para penyelenggara negara yang memegang kekuasaan maupun masyarakat. Karena pemegang kekuasaan dan masyarakat selalu memberi warna, kompetensi Polri di lapangan berada pada dua sisi yaitu berada dan bersatu dengan pemegang kekuasaan, dalam arti sebagai alat kekuasaan; dan pada sisi lain sebagai alat negara penegak hukum yang tidak dapat dipisahkan dari Criminal Justice System (CJS).

8. Mencermati perkembangan kedudukan, tugas, fungsi dan peranan kepolisian dari jaman penjajahan Belanda hingga jaman Orde Baru, tersirat adanya pergeseran misi, visi dan tujuan Kepolisian. Hal ini disebabkan oleh kedudukan Polri dan peran kepolisian dalam sistem politik negara yang memberikan beban kepada Kepolisian sebagai alat kekuasaan yang jelas bertentangan dengan visi, misi dan tujuan Kepolisian secara universal. Tujuan menangkal bahaya, memberikan pelayanan dan pengayoman untuk mencapai ketentraman serta memberikan jaminan terhadap tegaknya kebenaran dan keadilan menjadi terabaikan. Pada akhirnya Polri menjadi tidak profesional dan jauh dari masyarakat.

9. Organisasi di mana Polri berada, mewadahi dan memberi struktur pada pelaksanaan fungsi kepolisian yang pada gilirannya memberikan cap terhadap aktivitas perpolisian di situ. Dalam hubungan ini, kita mempunyai sejarah yang penting, yaitu pada waktu Polri dimasukkan ke dalam organisasi ABRI. Banyak pekerjaan kepolisian yang rusak dan bernoda (tainted) karena diwadahi dalam ABRI tersebut. Kasus–kasus besar seperti Marsinah, Udin, Tjetje di masa lampau merupakan contoh–contoh menonjol tentang bagaimana aktivitas dan kinerja Polri sejak militer merupakan faktor dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Jadi tidaklah mengherankan bila banyak pekerjaan polisi yang lebih diselesaikan “secara militer” daripada “secara polisi”.

III. PROSES TERJADINYA REFORMASI DI TUBUH POLRI

10. Desakan agar Polri memisahkan diri dari ABRI sebenarnya sudah sejak lama diperbincangkan oleh para tokoh, masyarakat, praktisi hukum dan lain sebagainya, melalui berbagai seminar, lokakarya dan diskusi. Pakar Hukum Pidana Unair, Prof.Dr. JE Sahetapy, pada tahun 1993 telah mulai menyuarakan agar Polri keluar dari ABRI tanpa suatu pretensi ataupun motivasi apapun, apalagi yang bernafaskan politik. Pemikiran tersebut mengemuka dengan alasan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme Polri sebagai barisan terdepan dalam menjaga ketertiban masyarakat dari berbagai kejahatan. Dengan keluarnya Polri dari ABRI, fungsi utamanya bisa dijalankan dan bisa berperan sebagai pengayom masyarakat yang disegani dan dihormati, bukan ditakuti. Beberapa tokoh menyuarakan bahwa posisi Polri bisa berada di bawah Departemen Dalam Negeri atau Kehakiman, bahkan kalau perlu di bawah Presiden. Namun tidak sedikit juga di antara para tokoh yang menganggap bahwa polisi tidak perlu keluar dari ABRI untuk meningkatkan profesionalismenya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pemisahan Polri dari ABRI tidak penting, yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan citra, idealisme, profesionalisme dan semangat pengabdian polisi.

11. Gelombang reformasi yang digerakkan oleh peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 memang melanda segenap tata kehidupan kenegaraan, yang pada akhirnya berdampak pada tuntutan perlunya mereformasi Polri. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya menyangkut jatuhnya rezim Orde Baru yang memungkinkan terjadinya reformasi di segala bidang, termasuk terhadap Polri sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia, dapat dilihat sebagai berikut ini :

a. Pemerintahan Orde Baru mulai dikritik secara tajam pada akhir tahun 1996 dan awal 1997. Trik–trik penyelenggaraan pemerintahan mulai disorot, yang kemudian diperkeruh lagi dengan adanya penemuan riset korupsi yang diekspose oleh Majalah Jerman “Der Spiegel” yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup ketiga di dunia dari 43 negara. Disorot juga adanya kebijakan politik yang mempertahankan “single majority” Golkar yang mengarah pada mendudukkan kembali Jenderal Tni (Purn.) Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya.

b. Pada saat bersamaan, muncul kerusuhan–kerusuhan dan demonstrasi yang terjadi di berbagai tempat. Pemerintah Orde Baru dan ABRI berusaha meredam kerusuhan yang ada dengan segala cara. Terjadilah beberapa peristiwa yang sangat menjadi perhatian publik, antara lain: peristiwa penculikan aktivis politik dan penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang memakan banyak korban.

c. Tindakan represif aparat dengan berbagai ancaman dan penculikan, justru semakin menyulut keberanian mengungkapkan pendapat yang mengecam kebrengsekan pemerintahan Orba dan para penyelenggara negara.

d. Kekuatan yang benar–benar menggoyahkan sendi–sendi kekuatan Orba adalah krisis moneter yang bergulir sejak Juni 1997, yang kemudian membangkitkan kritik, isu, dan pernyataan–pernyataan yang semakin menajam. Dunia universitas bangkit, yang menyebabkan mahasiswa secara spontan menanggapinya dengan menggelar aksi demonstrasi yang merupakan gerakan kampus. Selama bulan Januari sampai dengan awal Mei 1998 suasana politik makin panas. Walaupun demikian, Presiden Soeharto masih tetap mengendalikan negara.

e. Awal April 1998, gerakan mahasiswa sudah mulai menyuarakan agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Kata “reformasi” sudah mulai terbiasa digunakan, bahkan menggema sebagai perwujudan sikap yang menginginkan perubahan. Pihak mahasiswa menuntut perubahan secepatnya (reformasi total) sedangkan pemerintah dengan back up ABRI menyatakan bahwa mereka juga menginginkan perubahan namun harus bersifat gradual, karena perubahan total hanya akan melahirkan gejolak yang mengganggu stabilitas. Posisi yang berseberangan ini lalu makin mempertajam ketegangan. Tuntutan reformasi politik mahasiswa sendiri adalah pembaharuan politik dengan lima isu perubahan yaitu perubahan pemimpin, perubahan eksekutif, pemerintahan yang bersih, kebijakan publik yang tepat dan berkembangnya masyarakat sipil/madani.

f. Polisi berada pada masa yang sangat sulit, karena memihak yang manapun tidak menguntungkan. Polri seharusnya kembali pada hakekatnya sebagai polisi negara, bukan polisi pemerintah. Prof. Satjipto Rahardjo pernah menulis sebuah artikel agar Polri dan mahasiswa bersatu, artinya bila ada demonstrasi, maka polisi akan mengawalnya agar tidak terjadi gangguan. Kenyataannya polisi malah harus berhadapan dengan mahasiswa.

g. Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Habibie. Presiden Habibie kemudian mengupayakan reformasi dalam segala bidang, termasuk di antaranya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum.

h. Sidang Istimewa MPR 1998 dengan TAP MPR No. X / MPR / 1998 kemudian menugaskan kepada Presiden / Mandataris MPR untuk memisahkan Polri dari ABRI dengan rumusan :

“menginstruksikan kepada Presiden selaku Mandataris MPR antara lain untuk melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum dalam bentuk pemisahan secara tegas, fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalisme dan integritas yang utuh.”

i. Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk dari pemerintah dan pimpinan ABRI.

j. Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah–langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri. Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

(@dhedi'sh / Berbagai sumber)