Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve
Outing dalam tulisannya “The 11 Layers of Citizen Journalism”,
istilah citizen journalism saat ini menjadi one of
the hottest buzzword dalam dunia jurnalistik.
Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai
ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh
siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di
lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, maupun
mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul,
rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.
Bagi yang sudah lama mencermati dinamika
dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism
sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah.
Spiritnya tetap sama dengan public
journalism atau civic journalism yang terkenal pada
tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah
ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis.
Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola,
dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan
politis.
Lantas, apa bedanya fenomena public
journalism dengan rame-rame soal citizen journalism
sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan
teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam
mendefinisikan isu semakin terakomodasi.
Selain itu, kemajuan teknologi media membuat
akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya,
sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya,
open
source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi
media kian berkembang.
Mendefinisikan Citizen
Journalism
Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari
kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan,
mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism
pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu.
Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme
konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school
setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas
tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal
yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan
Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai
‘…the
act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting,
analyzing, and disseminating news and information”.
Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen
journalism. Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism,
participatory media, open source reporting, distributed journalism, citizens
media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media.
Civic journalism, menurut
Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan
oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public
journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat
isu-isu publik.
Citizen journalism adalah
bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang
berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen
journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.
J.D. Lasica, dalam Online
Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen
journalism ke dalam 5 tipe:
1. Audience participation
(seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog
pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam
pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).
Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen
journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik.
Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi.
Public journalism acap
dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa
media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga
mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah ‘produk’ atau ‘aksi’—mengegolkan
undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok
minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi
pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain.
Public atau citizen
journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena
komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk
ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.
Public journalism dengan
model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media.
Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat
inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak.
Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar
mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.
Citizen journalism : Isu dan Implikasi
Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan
teknologi (komunikasi) mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita.
Perkembangan citizen journalism
belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi old school
journalism—karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil.
Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya,
adalah sebagai berikut:
1. Open source reporting:
perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya
pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus
‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.
2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak
hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak
lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan
situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai
pelaku citizen journalism.
3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen
berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga
menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian
pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita,
dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya
diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my
God, duniaaa….
4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif
dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada
gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi
kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman)
bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama
kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!
5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku
citizen
journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen
journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist!
Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen
journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku
di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya
jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada
para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh
dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan
kredibilitas wartawan/media.
7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi
bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika,
profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku
citizen
journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi,
yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen
pada dasarnya adalah media franchise atau public
service franchise in journalism.
9. Kalau citizen media kini muncul dan juga
bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the
enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang
perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism
memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana
seharusnya membayar mereka.
Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi
sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu
profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’
dengan semangat citizen journalism.
Bagaimana nasib the old school journalism
di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah
tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?
Itulah beberapa isu yang akan selalu
diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen
journalism.
Citizen Journalism di Indonesia
Saya mulai mengamati fenomena public
journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya
adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme
pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an
(saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism?
Saya putuskan, TIDAK.
Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata.
Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen
Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan
diri pada kepentingan publik.
Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada
dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun
80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers),
karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.
Saya tertarik mengamati geliat citizen
journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis
soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan
tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory
journalism.
Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang
memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk
situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya
lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak
menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain.
Ini seperti membaca berita lokal dari koran
lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu
memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga.
Hyperlocalism yang saya
bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur
gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini
sebenarnya mau dibawa ke mana.
Ini murni open source reporting,
tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism
(alih-alih citizen reporting)?
Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen
journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa
(13.000 blog didirikan setiap hari!).
Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang
katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat
apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat
personal itu).
Atau, isu publik macam apa yang mestinya
bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang
membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah
kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism,
tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen
journalism.
Citizen journalism, dengan
kata lain, is not that easy!
Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar
banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk
masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar
kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H.
Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu
‘the
public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu,
saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna.
Sebuah situs citizen journalism
menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka,
pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan
situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame
yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan).
Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan
sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi,
ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources
yang begitu potensial, jadi tersia-sia.
Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena
baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism.
Saya kira efeknya akan baik buat keduanya,
baik bagi publik maupun bagi media mainstream.
Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local
culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism
sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture
komunitas yang mengusungnya. (@dhedi’sh / sumber: rumahkiri.net)