Kalau asumsinya perang dilapangan luas Bubat atau yang sering disebut
“Perang Bubat” antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda Galuh ini
benar-benar terjadi, semua pihak harus menerimanya secara elegan bahwa
ini adalah bagian dari peristiwa sejarah yang harus dihormati
keberadaanya. Tidak seharusnya dijadikan sentimen kesukuan, dan terlalu
picik bila ini dipandang sebagai dendam kesukuan, tidak ada kaitannya,
karena ini adalah proses sejarah yang bisa jadi menentukan keberadadaan
bangsa Indonesia masa kimi.
Banyak terdapat informasi penting sebenarnya dari Kitab Kidung Sunda
kalau kita analisia, kitab ini merupakan salah satu sumber referensi
penguat adanya perang Bubat selain kitab Pararaton, walau kitab resmi
kerajaan Majapahit yaitu kitab Negarakertagama, yang sama sekali tidak
menyinggung peristiwa besar itu.
Pupuh I dari kitab kidung Sunda disebutkan nama raja kerajaan Majapahit
yaitu Hayam Wuruk, nama Hayam Wuruk ini diangkat juga oleh kitab
Pararaton, inilah kaitannya dan kenapa dikatakan bahwa kitab Kidung
Sunda dan Pararaton adalah 2 kitab saling menguatkan yaitu dalam
peristiwa perang Bubat.
Teramat aneh kalau masyarakat menerima sebutan raja Majapahit Sri
Rajasanagara dengan Hayam Wuruk, Hayam adalah kata dalam bahasa Sunda
yang mempunyai arti Ayam, sedang Wuruk sama kata dalam bahasa Sunda yang
mempunyai arti jago lebih kearah jagoan kelahi. Inilah hebatnya yang
mempromosikan kitab Pararaton sehingga nama Hayam Wuruk seolah-olah
benar nama sebutan atau panggilan dan tidak tanggung-tanggung nama
seorang raja besar kerajaan Majapahit. Bahkan pemerintah pun mengakui
sebutan itu.
Informasi lainnya seperti hal-hal yang mustahil, tidak masuk logika dan berbau mistis, seperti petikan dibawah ini:
"Maka beliau (red-Gajah Mada) mengenakan segala upakara (perlengkapan)
upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang
(moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala)”
Kitab Kidung Sunda dilihat dari seluruh isinya berupa narasi untuk
sebuah kisah, lebih kearah fiksi fantasi artinya ada hayalan imaginer
dari si pembuat atas peristiwa yang diceritakan . Tentu saja kebenaran
sejarah untuk narasi seperti ini sangat diragukan bisa jadi tidak ada
nilai sejarahnya, bisa jadi pula bawa perang Bubat ini hanyalah rekayasa
mengikuti cerita sebelumnya, karena kitab Kidung Sunda ini diterbitan
setelah kitab pertama yang memuat kejadian serupa mengenai perang Bubat
diterbitkan terlebih dahulu yaitu kitab Pararaton.
Baiklah dalam hal initidak diperdalam lebih lanjut mengenai keaslian,
kebenaran atau kepalsuan dari kitab Kidung Sunda dan Pararaton, tetapi
lebih fokus menganalisa isi yang disampaikan oleh kitab Kidung Sunda
mengenai kejadian perng Bubat, mari perhatikan petikan dari kitab Kidung
Sunda:
Petikan sebagian kitab Kidung Sunda (terjemahan) Pupuh I :
“ Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan
memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak
disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah
totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil. Kapal jung. Ada
kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini. Namun
ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki
Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina)
seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)”.
Informasi penting yang diperoleh dari sebagian petikan kitab Kidung
Sunda diatas salah satunya yaitu mengenai jumlah armada rombongan dari
Kerajaan Sunda Galuh, yang terdiri dari 200 buah kapal ukuran kecil,
jumlah total armada itu sekitar 2.000 buah perahu terdiri dari sebagian
besar jumlah kapal dalam ukuran besar ditambah 200 kapal dalam ukuran
kecil.
Hitungan matematis sederhana, kalau dimisalkan 1 buah perahu rata-rata
memuat atau membawa awak 10 orang, berarti jumlah rombongan sekitar
20.000 orang, ini jumlah yang terlalu over dosis atau berlebihan untuk
sebuah acara perkawinan. Bayangkan lagi kalau muatannya dalam 1 buah
perahu minimal mengangkut rata-rata awak 20 orang, berarti jumlah
rombongan bisa mencapai sekitar 40.000 orang, dan itu juga bukan jumlah
sedikit, jumlah itu cukup untuk sebuah rencana menggempur atau menyerang
suatu negara atau kerajaan lain pada saat itu.
Perjalanan berlayar dari tanah Sunda ke tanah Jawa ujung timur dengan
memakai perahu-perahu, pasti bukanlah jenis perahu kecil-kecil yang
digunakan. Perahu-perahu ini mestinya harus bisa memuat jumlah personil
atau awak perahu lebih dari 30 orang dalam 1 buah perahu, kalau dihitung
lagi dan dijumlahkan dari rata-rata 1 buah perahu memuat awak 30 orang,
maka total jumlah orang akan mencapai jumlah kisaran lebih dari 60.000
orang, jumlah yang cukup fantastis dan ideal untuk sebuah rencana
penyerangan, sekaligus membumihanguskan kerajaan seperti Majapahit yang
notabene mereka sedang sibuk melakukan invasi ke luar wilayah
kerajaannya. (@dhedi'sh / Sumber: forum.viva.co.id)